Surakarta, Barangkali
saat ini kita telah mengalami Situasi dan kondisi masyarakat yang
disebut dengan “jaman edan”. Situasi yang dirasakan oleh kebanyakan
orang sebagai Situasi yang tidak menentu, penuh kecemasan dan ketidak
pastian. Di jaman edan, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada
persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan.
Kawan bisa menjadi lawan,
dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.
Jaman edan Keadaan itu sudah ditulis oleh Rangga Warsita puluhan tahun yang lalu dalam sebuah syair
yang
dikenal dengan Serat Kalatidha.Serat Kalatidha adalah sebuah karya
sastra Iawas karangan Rangga Warsita, yang ditulis sekitar tahun 1860
Masehi. Rangga Warsita adalah pujangga terakhir dari kasunanan/kerajaan
Surakarta.
Terkait buku
*Serat kalatidha* tersebut maka pada hari sabtu tanggal 27 Januari 2018
pukul 18.00. Babinsa kel. Kratonan Ramil 03 Serengan Kodim 0735
Surakarta Serka Yudi widianto menghadiri dan mengikuti bedah/ selisik
buku serat kalatidha karangan Ki Ronggowarsito. Bertempat di rumah
budaya Kratonan jl. Menduro no 6 Kratonan. Dengan pembicara Bpk. Drs.
Bambang Ikwanto.Mpd. Dosen Universitas Veteran.
Dalam
penjelasannya Drs Bambang Ikwanto menjelaskan bahwa buku Serat Kaltidha
berisi gambaran tentang jaman edan, dimana di dalamnya tergambar
situasi orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit
untuk memperoleh kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan
harus menyuap. Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah
mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin
terpinggirkan. Itulah konsekuensi logis dari sistem liberalisme dan
kapitalisme. Orang kaya mengeksploitasi orang miskin.
Lebih
lanjut beliau menyampaikan bahwa Di jaman edan, korupsi ada
dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya. Mereka
terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun
masih saja merasa kurang dan kurang. Tanpa peduli dengan penderitaan
orang rniskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya. Empati dan
kepedulian sudah luntur dari qalbunya.
Kalatidha
merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat
Kalatidha juga mencapai kota Leiden, Belanda. Di sana petikan dari Serat
Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum. Serat Kalatidha bukanlah
ramalan seperti Iangka Iayabaya. Serat Kalatidha adalah sebuah syair
yang terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup
Ranggawarsita. “Kala” berarti "jaman" dan “tidha” adalah ”ragu".
Kalatidha berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang
memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan”
Menurut
Drs. Bambang Ikwanto, orang hanya apal serat kalatidha pada bait ke
tujuh. Namun Kebanyakan orang hapal bait ketujuh ini secara tidak
lengkap. ”Amenangi zaman édan; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu
anglakoni boya kéduman; Begjabegjam‘ng kang édan; Luwih begja kang éling
klawan waspada", artinya "Berada pada zaman édan; Kalau ikut édan tidak
akan tahan; Tapi kalau tidak ngikuti édan tidak kebagian;
Sebahagia-bahagianya orang yang édan; Akan lebih bahagia orang yang
tetap ingat dan waspada." Bait ke-tujuh serat ini menggambarkan situasi
“edan” saat itu dan ajakan untuk mawas diri. Makna dari bait ke tujuh
adalah sebagai berikut: Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba
repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai; Kalau tidak mengikuti; Tidak
kebagian apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun sudah menjadi kehendak
Allah; Bagaimanapun beruntungnya orang yang “edan”' Masih lebih
beruntung orang yang “ingat” dan . “waspada” . pungkasnya.
(Pendim 0735 Surakarta)
No comments:
Post a Comment