Salah
satu tradisi seputar peringatan hari kemerdekaan RI, adalah
diselenggarakannya “Malam Tirakatan”. Setidaknya kita dapat menjumpainya
di beberapa area seputar Jateng – DIY. Sesuai dengan namanya, “Tirakat”
akan berlangsung dengan khidmat, disertai doa dan perenungan arti dari
pengorbanan para pahlawan dan makna dari kemerdekaan Indonesia. Acara
tirakatan pada umumnya diselenggarakan tidak hanya dalam lingkup kantor
birokrasi saja, namun juga di kampung-kampung, hingga di level RT/RW. Di
sinilah kita dapat melihat realitas masyarakat, sejauh mana arti dan
semangat kemerdekaan itu di hati rakyat.
Menyambut ulang tahun
kemerdekaan RI --walaupun dengan label tirakat--, kita melihat suasana
yang tidak melulu soal merenung, namun juga semarak. Ada 2 sisi bagai
sekeping mata uang dari seremoni memaknai ulang tahun kemerdekaan, yaitu
doa dan perenungan di satu sisi, dan semarak pesta sebagai ucapan
syukur di sisi yang lain. Semuanya itu terselenggara secara otomatis,
tanpa harus dihimbau dan dikoordinasi oleh Pemerintah. Semuanya berjalan
dengan sendirinya, dengan biaya dan tenaga sendiri tanpa pakasaan.
Bukankah ini dapat menjadi sisi positif kita sebagai bangsa, yang masih
dapat merefleksikan arti nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa
merdeka ?
Suasana malam tirakatan biasanya tidak berhenti pada
hari itu, namun sudah dipersiapkan jauh hari. Menyambut kemerdekaan,
identik dengan kerja bakti membersihkan lingkungan, mengecat ulang
gapura, dan pagar, serta memasang bendera. Suasana lain diseputar
peringatan hari kemerdekaan adalah hadirnya acara bazaar 17-an, yang
paling afdol ditutup pada tanggal 16 Agustus malam, yang bersamaan
dengan malam tirakatan. Ada sebuah panggung di tengah acara bazaar, yang
menjadi pusat acara. Di situ akan dilantunkan lagu Indonesia Raya
dengan khidmat, panjatan doa syukur sebagai bangsa merdeka, perenungan
terhadap jasa para pahlawan bangsa dan semangat lagu-lagu perjuangan,
barangkali itulah menu utamanya. Namun, kita dapat juga menyaksikan
acara lainnya, seperti penampilan tari-tarian, puisi perjuangan,
festival band atau barangkali drama perjuangan, dan pengumuman serta
penyerahan hadiah lomba-lomba yang sudah diselenggarakan sebelumnya.
Itulah ketulusan pemaknaan dari kemerdekaan ala masyarakat, yang
menyisakan kebanggan kita sebagai bangsa di tengah berita-berita miris
di sekitar kita, seperti korupsi dan suap menyuap, kekerasan, ketahanan
pangan yang rapuh, kemiskinan dan lain sebagainya.
Walaupun
terkesan sekedar seremoni, namun semarak dan khidmatnya peringatan hari
kemerdekaan di kampung-kampung ini membuat kita dapat belajar beberapa
hal :
Pertama, Nasionalisme kita belum mati. Kita masih punya
kebanggaan sebagai bangsa, masih memiliki penghargaan terhadap para
pahlawan bangsa, walaupun itu di tengah situasi berbangsa yang penuh
keprihatinan, dengan semakin langkanya sosok pahlawan yang tulus dan
pengorbanan tanpa pamrih di negeri ini. Bukankah yang rela berkorban itu
justru rakyat, yang bersedia menyumbangkan tenaga dan dana untuk
sebuah pemaknaan kemerdekaan ?
Kedua, kita patut bersyukur dalam
situasi apapun masyarakat kita masih memiliki kesadaran untuk berbangga
sebagai bangsa yang merdeka, yaitu bangsa yang memiliki harga diri yang
setara dengan berbagai bangsa di dunia. Makna besar inilah yang membuat
hari kemerdekaan senantiasa dengan rela diperingati, disyukuri dan
doakan. Bukankah sudah banyak dari kita yang lupa untuk mensyukuri
kemerdekaan dengan tidak dapat menjaga martabat bangsa di mata dunia ?
Ketiga,
malam tirakatan setidaknya membuat kita berhenti sejenak untuk
mengingat para pendiri bangsa ini, bahkan lebih jauh lagi para pahlawan
yang berjuang dari abad ke abad. Mereka itu adalah sosok-sosok yang
berkorban jiwa dan raga, sosok yang berjasa tanpa pamrih dan benar-benar
memikirkan Indonesia merdeka demi berdirinya negara Indonesia. Sungguh
patut kita renungkan nilai hidup yang demikian di tengah semakin
banyaknya orang yang berjuang demi kekuasaan dan kepentingan kelompoknya
sendiri.
Keempat, sekalipun sederhana, setiap kemeriahan bazaar,
persiapan panggung gembira, lomba-lomba yang penuh canda tawa,
mengingatkan kita akan nilai kegotongroyongan, yang disebut-sebut
sebagai nilai luhur bangsa yang sudah menjadi budaya nenek moyang kita.
Semoga semangat gotong royong ini masih ada.
Menjelang
peringatan ke -73 hari Kemerdekaan Indonesia ini, kita tidak sekedar
berpesta, bersyukur kepada Tuhan untuk kemerdekaan Indonesia. Kita juga
perlu bertirakat dengan merenungkan kembali betapa susah payahnya negara
ini berdiri, betapa banyaknya pengorbanan yang telah direlakan demi
kemerdekaan. Patut pula kita berdoa memohon kepada Tuhan, supaya
Indonesia dapat menatap masa depan yang lebih baik, kembali pada
cita-cita membangun jembatan emas menuju masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur. Satu kata untuk mencapainya : perjuangan, perjuangan dan
sekali lagi perjuangan !
Selamat ulang tahun Indonesia.